Menciptakan Desa Mandiri Energi
Menciptakan Desa Mandiri Energi
Tahun ini, Pemerintah Jawa Tengah menambah distribusi digester biogas di desa-desa sebanyak 113 unit.

Penyaluran Biogas Ke Beberapa Desa
Hingga awal Agustus 2022, pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah menyalurkan 270 digester biogas di desa-desa. Menggagas program sejak 2018 ini bertujuan untuk mendorong kemandirian dan kedaulatan energi di desa-desa.
Secara sederhana, digester adalah alat penampungan kedap udara. Memakai Alat ini untuk mengolah limbah bio atau biomassa, seperti tinja ternak atau manusia jerami dan sampah organik lain, untuk menghasilkan biogas.
Biogas yang mengandung 70 persen gas metana adalah alternatif pengganti bahan bakar minyak. Cocok untuk menerapkan energi terbarukan ini di daerah pedesaan, karena kepemilikan hewan ternak yang cukup besar.
Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Tengah menyebutkan dari 2018 hingga 2021 bantuan biogas berjumlah 157 unit. Tahun ini, pemprov menambah distribusi alat sebanyak 113 unit.
Menurut Kepala ESDM Jateng Sudjarwanto Dwiatmoko, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo ingin agar desa-desa di Jateng bisa mandiri dalam hal sumber energi.
Makanya, Jateng memiliki program bernama Desa Mandiri Energi. “Artinya bagaimana desa itu membangkitkan energi, membakar energi, dan menggunakan energi dari potensi yang ada. Biogas, salah satunya,” katanya.
Tahun ini, kata Sudjarwanto, jumlah Desa Mandiri Energi juga akan bertambah lagi. Hanya, ada perbedaan dengan pola pengembangan. Sejak 2021, ada pemberdayaan peternak dan industri rumah tangga.
Sementara itu, dengan adanya itu, banyak warga yang meminta bantuan. “Kami sebut padat karya untuk biogas—kami bantu aspek peralatan dan teknologi, rakyat yang gotong royong,” ujar Sudjarwanto.
Bantuan teknologi biogas tersebut kini sudah warga rasakan manfaatnya. Di Kabupaten Sukoharjo, misalnya, Paguyuban Peternak Desa Marten di Kecamatan Bendosari mampu mengembangkan 15 titik kompor.
Dari jumlah tersebut, dua rumah telah mempergunakan sumber energi terbarukan itu untuk mendukung usaha UMKM seperti produksi cilok dan peyek. Adanya biogas ini juga mampu menekan pengeluaran konsumsi elpiji bersubsidi. Masak jadi lebih irit.
Samiyem merasakan berkah dari bantuan biogas Pemprov Jateng. Warga Desa Samirono, Kabupaten Semarang itu dalam setahun terakhir tak pernah lagi membeli gas elpiji 3 kilogram (melon).
Ia sudah memakai biogas. Samiyem memiliki pengalaman memasak sejak memakai kayu bakar lalu beralih gas melon.
Kala itu, ia harus mencari kayu bakar sejauh 1,5 kilometer. Untuk kebutuhan sepekan, ia harus menyediakan waktu sehari untuk 3-4 kali bolak-balik mengambil kayu bakar, ujarnya.

Bantuan Biogas
Tahun lalu, Samiyem mendapatkan bantuan biogas. Pembangunan tangki di belakang rumahnya, dekat dengan kandang sapi miliknya yang berisi dua ekor.
Memasukkan tinja sapi ke dalam digester, tapi terlebih dulu mencampur air dengan perbandingan satu liter dan campuran kotoran satu liter air. Dari situlah terjadi fermentasi yang menghasilkan gas metana dan gas lain.
Tak sekadar untuk memasak, Samiyem memakai gas itu untuk penerangan petromaks. “Pakai itu saja udah lebih dari cukup. Enggak perlu beli elpiji lagi, uang bisa buat sekolah anak,” tuturnya.
Sebagai gambaran, Desa Samirono terletak di kaki Gunung Merbabu dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Sehingga, lokasi ini cocok untuk ternak. Pada 2018, desa itu memiliki sebanyak 2.430 ekor sapi.
Dari pengembangan tinja ternak warga, Kepala Desa Samirono, Slamet Juriyono, mengatakan, pada 2021 volume biogas mencapai 644 meter kubik dengan produksi sekitar 252 m3 per hari. Dan, kini biogas itu terpakai oleh 152 keluarga dari total 800 keluarga, lapor Mongabay.
Biaya Listrik Berkurang Berkat Biogas
Slamet mengatakan, kini biaya listrik juga sudah berkurang drastis. “Biasa Rp300 ribu sebulan, sekarang Rp20 ribu-25 ribu,” ujar Slamet.
Warga Dukuh Meranji, Desa Wonokerso, Kabupaten Batang juga merasakan hal yang sama dengan Samiyem.
Suripah (50), salah satunya, tak lagi membeli gas elpiji. Ia sangat terbantu dengan bantuan biogas secara swakelola dari Pemprov Jateng yang memulainya tahun ini.
Memang saat memulai memasak, tercium bau tak sedap, seperti kotoran ternak, tapi setelah agak lama bau itu hilang. Ia pun sudah terbiasa dengan hal itu.
Sementara itu, yang menarik Suripah tidak memiliki ternak seperti Samiyem. “Tapi saya dapat sambungan (pipa biogas) dari tetangga saya sejak 29 April 2022,” ujar dia.
Tetangga Suripah-lah yang memiliki hewan ternak dan menggunakan kotorannya untuk biogas. Dari digester, barulah menginstal saluran gas ke warga.
Kepala Desa Wonokerso, Muhamidin, mengatakan, awalnya sulit meyakinkan warganya untuk berpindah ke biogas. Butuh setahun, ia menarik hati warganya.
Penolakan itu simpel karena warga terbiasa bikin kompos. Jika membuat biogas dari kotoran, pupuk kompas tidak ada.
Proyek yang baru berjalan sejak April itu, kata kades, kini sudah mulai banyak peminat , bahkan yang semulanya menolak.
Desa Wonokerso mendapat bantuan 10 unit biogas, terdiri atas delapan swakelola dan dua unit komunal. Sejak ikut program itu, kandang-kandang ternak terlihat bersih. Kotoran-kotoran ternak tidak lagi menumpuk.
Yang jelas, “Juga tidak ada yang sia-sia dari beternak sapi,” ujar Muhamidin.
Artikel ini pernah dimuat di : Ganjarpranowo.com
Menciptakan Desa Mandiri Energi
FORBHIN; Desain website oleh Cahaya Hanjuang